KONSERVASI NASIONAL MERUPAKAN TANGGUNG JAWAB LINTAS GENERASI
Indonesia memiliki kekayaaan yang luar bisa, dan bukan isapan jempol. Dari seluruh penjuru dunia mengakuinya, mengirikannya, mengimpikannya. Ia diciptakan Tuhan, membentang di sabuk hijau tropis dengan luas wilayah 7,81 km2, garis pantai sepanjang 80.791 km, perairan lautnya 3,2 juta km2, zona ekonomi ekslusif 2,55 juta km2, hotspot area dan wilderness area, dibelah garis Wallace, segitiga karang dunia, peringkat kedua negara megabiodiversiti dunia, 1.128 suku bangsa, 1.068 keragaman budaya nomor tiga besar dunia, 1.153 bahasa, 27.000 desa, 27 juta hektar Kawasan konservasi, dan 6.831 desa penyangga.
Saya berkesempatan menikmati “kekayaan alam” itu karena bertugas di berbagai tempat terutama sejak 1994 sampai COVID-19 di akhir Maret 2020 menghentikan saya dan juga hampir 6 milyar manusia di bumi. Demikian disampaikan Ir. Wiratno, M.Sc. (Dirjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) mengawali pengantar Bedah Buku “Catatan Wisata Intelektual” yang digelar Jum’at, 08 Mei 2020 secara daring melalui media Zoom dengan moderator Dr. Hamdani Fauzi, S.Hut, M.P. dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.
Lebih lanjut Pa Wir (panggilan akrab Ir. Wiratno, M.Sc.) menyatakan, pertanyaan besar dan kegundahan saya di berbagai paragraf dalam 82 artikel buku ini di rentang hampir 20 tahun, awal tahun 2000, terutama sejak Januari 2005 ketika menjadi Kepala Taman Nasional Gunung Leuser, tepat setelah Tsunami menghantam Aceh menjelang dini hari, 26 Desember 2004, sampai 8 Mei 2020. Pertanyaan itu adalah bagaimana kita bisa berbagi ruang hidup dengan mahluk lain di bumi-yang hanya satu ini. Mampukah intelegensia dan teknologi buatan manusia, menjawab semua problematika dunia yang sebenarnya juga disebabkan oleh “cara hidup” sekelompok elitenya.
Bagi rimbawan, tantangan terbesar adalah bagaimana mengurus sumberdaya hutan di tingkat tapak? Demikian pula bagi pekerja konservasi alam, 6.000 lebih staf Ditjen KSDAE-mengurus 27 juta hektar? Hampir seluas Inggris Raya di Eropa. Menyeimbangkan antara kepentingan ekologi, sosial budaya, dan ekonomi, serta politik. Mampukah kita berkomitmen mencari, melakukan, dan mengawal agar keseimbangan itu menjadi kenyataan.
Acara yang digelar ini merupakan kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan ini menghadirkan Prof. Dr. Ir. Yudi Firmanul Arifin, M.Sc. (Guru Besar Ekologi Hutan ULM) dan Dr. Abdi Fitria, S.Hut, M.P. (Doktor Konservasi Flora dan Fauna ULM) sebagai pembahas utama. Prof. Yudi memberi catatan khusus bahwa kalau kita membaca buku ini seperti kita diajak untuk memahami ilmu filsafat, sosiologi, sejarah, ilmu lingkungan, ilmu kehutanan, dan ilmu manajemen. Prof. Yudi pun menyoroti kebijakan kemitraan konservasi pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, dimana kemitraan konservasi dengan masyarakat dimungkinkan secara legal. Ditetapkannya zona/blok tradisional di kawasan konservasi, untuk masyarakat seluas 2 juta hektare, dan akan terus berkembang. “Sepuluh Cara (Baru) Kelola Kawasan Konservasi” ala Pa Wir yang digulirkan pada tahun 2018, mendorong jalan damai kelola kawasan konservasi dengan memperhatikan hak asasi manusia, adat, budaya, dan memosisikan masyarakat sebagai subyek, sebagai pelaku utama, dan mitra penting. Dilain pihak, penulis ingin merubah paham antroposentrism (sikap hidup yang selalu ingin menaklukkan alam, mengambil apa saja (baca: serakah) yang ada di alam untuk kepentingan manusia menjadi paham yang menyeimbangkan antara antroposentrism dan ecosentrism yang disebut deep ecology yaitu paham yang mengatur keseimbangan antara manusia dan alam (OH=manusia, flora, fauna, ekologi). Pertanyaan besar yang dikemukakan Prof. Yudi “Apakah aturan itu justru mendukung paham antroposentrism?” Karena kita tidak tahu suatu saat mereka akan menguasai apa saja yang ada di hutan. Lalu muncul pertanyaan hutan ini milik siapa ? Menyerahkan hak pengelolaan pada masyarakat terdengar mudah, namun ternyata memunculkan sejumlah pertanyaan penting: masyarakat yang mana? dalam setiap kelompok masyarakat, siapa yang akan memutuskan bagaimana hak kelolanya? Apakah ukuran keberhasilannya? Bagaiman kontrolnya? Sehingga Prof. Yudi mendorong agar alumni rimbawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk intens melakukan pendampingan masyarakat sampai berhasil. Bahkan Kita banyak hasil riset untuk pemanfaatan potensi hasil hutan yang ada di sana, ujar Prof. Yudi.
Acara yang diikuti 397 peserta melalui video conferencing ini berasal dari berbagai lembaga diantaranya Fakultas Kehutanan ULM, BKSDA Kalsel, BKSDA Papua, BKSDA NTT, Balai Litbang LHK Banjarbaru, PT Inhutani III, KPH Halmahera Timur Dinas Kehutanan Maluku Utara, Dinas Kehutanan Prov Kalsel, Bappelitbangda Kabupaten Purwakarta Provinsi Jawa Barat, Tahura Sultan Adam, Universitas Sumatera Utara, Universitas Jember, Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Institut Teknologi Sumatera, Universitas Lampung, Universitas Negeri Gorontalo, Balai Litbang LHK Palembang, Direktorat Jenderal KSDAE, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Institut Pertanian Bogor, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Universitas Palangkaraya, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Tadulako, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, Universitas Ngurah Rai Denpasar Bali, Univesitas Widya Gama Mahakam, dan PT Arutmin Indonesia.
Dekan Fakultas Kehutanan ULM, Dr. Kissinger, S.Hut, M.Si menyambut baik gelaran bedah buku dan diskusi konservasi nasional seperti ini. “Bagi saya, buku yang ditulis Pa Wir sungguh luar biasa, dan dengan bedah buku ini maka kita akan lebih memahami secara komprehensif pokok-pokok pikiran dan ide cemerlang penulis” ujar Dr. Kissinger.
Sementara itu, Dr. Mahrus Aryadi, M.Sc selaku Kepala BKSDA Kalsel ketika diminta tanggapannya menyatakan bahwa penulis betul-betul konsisten melakukan apa yang beliau katakan. “Pa Wir selalu mengemukakan, bekerja lah dengan ikhlas, tulis lah apa yang kamu kerjakan, dan kita semua merasa nyaman bekerja di konservasi” imbuh Dr. Mahrus.
Di akhir acara, Pa Wir Mengingatkan kita untuk membangun ruang belajar bersama di bumi ini, tempat satu-satunya kita bisa hidup. Hutan-hutan dan laut Nusantara adalah masa depan umat manusia. Maka, kita jaga dan kelola dengan cerdas, penuh kasih sayang dalam kerangka “tanggung jawab lintas generasi”. Mari kita mencintai alam kita dengan hidup sederhana, hidup seadanya, membangun terus nilai-nilai roh nusantara, gotong royong, dan persaudaraan kita sebagai modal sosial bangsa. ( Hamdani F.Hut/Humas ULM)